walau tidak ada yang sempurna, hidup ini indah begini adanya -

Surat untuk Er

Andai saja semua ketulusan yang pernah kamu lakukan untukku bisa terulang. Waktu seperti berhenti mengalir saat aku berada di sampingmu dalam dekapmu, dan dalam tulus kasihmu. Angin kesunyian, ya aku hanya bisa bercerita kepadanya, setidaknya sampai kamu kembali.

Pohon tumbang yang diderai oleh angin Oktober, seakan menerangkan bahwa semua yang telah tumbuh perlahan sekian lama bisa saja berakhir dan mati. Seribu pesan yang pernah kau tuliskan untukku, mengingatkan saat kita berdua terbang sangat tinggi, atau menyelam ke tempat terdalam di hati kita masing-masing. Abu dari pembakaran semua kertas-kertas dan tanda sayang cukup membuat perih mataku. Tetes air mata tak bisa aku bendung, hanya satu tetes, tapi cukup menunjukan bahwa aku kehilangan dirimu.

Andai waktu bisa aku hentikan, aku ingin menikmati satu detik kehangatanmu, cukup satu detik sebelum aku bisa merelakan waktu kembali berjalan pada garis kerjanya, meninggalkan apa yang ada di masa lalu untuk menjemput sesuatu di hari depan. Semesta yang selalu bergerak meninggalkan titik waktu, saat kita bersama. Tingalah aku sendiri sekarang ini, berusaha bercerita pada kertas, sementara tinta hanya mengalir menuruti kehendak tangan yang dulu selalu kau pegang. Apa belum cukup cincin emas yang kita tukar, aku masukan ke jari manismu. Semua memang sudah berakhir. titik.

Api semakin menyala terang dengan semakin banyaknya kumasukan surat-surat dari mu selama beberapa tahun ini. Aku senang bisa bertemu dengan kamu, aku bahagia pernah memiliki kamu dalam arti yang luas. Setengah hati aku melakukan semua ini, setengah yang lain berharap kamu kembali menemui aku, menjabat tanganku, dan mengulang semua yang pernah kita lakukan disaat kita berdua mabuk dalam sesuatu yang disebut cinta. Perspektif kata yang sering salah kaprah diartikan dan dipersempit maknanya oleh orang lain.

Aku mencoba berlari melupakan dirimu. Tapi, bayang dirimu selalu ada di jendela saat hujan datang di malam hari yang sunyi. Tak ada kamu lagi disini. Tak ada kamu lagi disini. Kata itu yang berusaha aku tekankan pada hatiku. Seperti suara keras air hujan yang menghantam seng, berusaha menekankan bahwa: aku (hujan) datang malam ini dengan segenap kekuatanku. 

Aku berlari diantara kabut pagi berusaha menemukan matahari baru. Aroma tanah dan rumput selalu membawa semua fantasiku pada dirimu. Cepat lah pulang dan kembali padaku, aku teriakan itu di bukit tempat kita dulu beristirahat saat bersepeda. Mengayuh harapan-harapan yang kita tuliskan pada pesawat kertas, juga dibukit ini kita menerbangkan pesawat kita. Sekarang terbang mengarungi samudra udara yang luas dan ganas. Tak akan bisa kembali pesawat itu, pasti.

Er, aku tahu dan sadar lautan begitu luas memisahkan kita. Memaksamu menginggalkan diriku dan memaksaku menerima ditinggal oleh mu. Dunia begitu luas, ada banyak hal diluar sana yang selama ini terlewatkan oleh kamu. Sebaris kata itu akan selalu aku ingat, dan juga  kata-katamu: Kamu itu pintar, tapi juga tolol, kata-kata pedasmu tentang idealisme dan pemikiran-pemikiranku yang terkadang brutal dan keluar dari tatanan batas kewajaran sebagian besar orang. Kamu mengatakannya sambil mengusap rambutku saat aku berusaha meyakinkan dirimu tentang gagasan dan ide-ide gilaku: Cukup gila tapi tak layak untuk tidak dicoba. 

Kamu tau Er, aku menuliskan semua ini dalam keadaan tertekan, menyikapi bahwa diriku sekarang sendiri. Tidak Er, kamu membuat aku gila. Tak mengertikah dirimu bahwa selama ini kamu adalah motivasi bagiku sehingga aku dengan susah payah bertahan dari sakitku. Hidup itu tidak mudah, tapi juga tidak sulit. kamu kembali benar dan mengalahkanku. Mengalahkan logikaku dengan lugas tanpa membuat aku merasa digurui, sempurna.

Cahaya dengan malu menembus celah-celah dinding anyaman bambu kamarku, mereka ada tapi sangat kecil Er, tidak sebanding dengan kamu yang berani membuka pintu dan membiarkan cahaya masuk menyinari ruangku, setidaknya cahaya itu lebih dari cukup membantu dalam menuliskan semua ini. Bicara tentang cahaya tak ada yang bisa sefasih dirimu. Karena kamu adalah cahaya.

Kuakhiri tulisanku ini Er, aku tak berharap engkau membacanya. Setelah ini akan aku berikan kertasku kepada si api, agar dia mengubahnya menjadi kehangatan, cahaya, lalu abu. Abu masa lalu.

Oktober di Purbalingga
Untuk seseorang yang kurindu, Er



Artikel Terkait:

3 komentar:

fatinomial mengatakan...

bisa dikirim ke majalah niii..

lucky mengatakan...

majalah apa? :)

Unknown mengatakan...

keren keren....... :D
mengharukan.. hehe